Kamis, 17 Juni 2010

Tiga Tahapan Ilmu

Ada kata hikmah yang menyatakan : “Ilmu ada tiga tahapan. Jika seorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Jika ia memasuki tahapan kedua ia akan tawadhu’. Dan jika ia memasuki tahapan ketiga ia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya”.

Maksud kata hikmah tersebut adalah :

Pada tahapan pertama, seorang penuntut ilmu yang baru belajar biasanya akan sombong. Ia tidak menyadari keadaan dirinya dan mengira telah mencapai kedudukan yang mulia. Bahkan tak jarang ia melecehkan ulama yang lebih alim darinya. Padahal dirinyalah yang masih jahil dan masih banyak kekurangannya. Para ahli ilmu dapat mengetahui jejak orang-orang semacam ini seperti dikatakan Al Khathib Al Baghdadi :

العالم يعرف الجاهل، لأنه قد كان جاهلا، والجاهل لا يعرف العالم، لأنه لم يكن عالما
“Orang alim dapat mengenali orang jahil karena dia dulunya juga jahil. Sedangkan orang jahil tidak mengetahui orang alim karena dia belum pernah jadi orang alim”. (Al Faqih Wal Mutafaqqih : 2/365).

Pada tahapan kedua, ia akan tawadhu’ karena mulai merasakan bahwa ilmunya tidak seberapa dan ternyata masih banyak yang belum diketahuinya. Ia pun mulai sadar akan kekurangan dirinya, dan ini menuntunnya untuk lebih banyak belajar dan menimba ilmu yang berguna.

Pada tahapan ketiga, ia merasa tidak ada apa-apanya karena ternyata ilmu bagaikan samudera tak bertepi. Bahkan jika ia menghabiskan seluruh hidupnya untuk menuntut ilmu, maka yang ia dapatkan masih sedikit karena lautan ilmu tak terhingga luasnya. Sampai-sampai seorang penyair berkata :

ما حوى العلم جميعا أحد
لا ، ولو مارسه ألف سنة

“Tak ada seorangpun yang dapat menguasai semua ilmu yang ada,
Tak akan bisa, meskipun ia mempelajarinya selama seribu tahun lamanya”.
(Miftahus Sa’adah, Ahmad bin Musthafa : 1/6).

Memang demikianlah sebenarnya hakikat ilmu manusia, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala :

قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً

“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS. Al-Kahfi : 109).

Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir-nya menukil perkataan ar-Rabi’ ibnu Anas yang berkata : “Ayat tersebut menggambarkan perumpamaan ilmu seluruh manusia jika dibandingkan dengan ilmu Allah bagaikan setetes air dibanding seluruh samudera”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar